Tiga jam dari sekarang adalah saat
yang paling membahagiakan bagi saya, yang paling saya nantikan. Karena
setelah 6 tahun terpisah, kini saya akan menemui saudari kembar saya,
Remora. Sejak kami duduk di bangku SMP, kami dipisahkan oleh kedua orang
tua kami untuk menghindari timbulnya rasa cinta diantara kami. Maklum,
Mora perempuan dan saya laki-laki. Kembar seperti kami ini banyak yang
dipisahkan, karena tak sedikit yang akhirnya menikahi pasangan kembarnya
sendiri.
Saya masih ingat saat saya mulai menyukai lawan jenis, Remora-lah yang pertama kali saya sukai. Karena dia cantik dan baik. Juga karena kebersamaan kami setiap hari. Pelan-pelan rasa suka itu berubah jadi rasa yang aneh, rasa yang ingin selalu memiliki. Rasa cinta yang lebih dari cinta kakak kepada adiknya. Saya pun tahu bahwa Mora juga menaruh perasaan yang sama, terlihat dari sorot matanya saat berbicara pada saya.
Saya masih ingat saat saya mulai menyukai lawan jenis, Remora-lah yang pertama kali saya sukai. Karena dia cantik dan baik. Juga karena kebersamaan kami setiap hari. Pelan-pelan rasa suka itu berubah jadi rasa yang aneh, rasa yang ingin selalu memiliki. Rasa cinta yang lebih dari cinta kakak kepada adiknya. Saya pun tahu bahwa Mora juga menaruh perasaan yang sama, terlihat dari sorot matanya saat berbicara pada saya.
Semakin lama kami semakin
terlarut dalam perasaan kami. Kemesraan diantara kami perlahan tercium
orang tua kami, akhirnya kami pun dipisahkan. Saya dikirim jauh ke
negeri paman Sam, dan hanya boleh kembali saat Mora akan menikah.
Sedih sekali jika teringat akan mata Remora yang biasanya berbinar dipenuhi air mata. Ingin rasanya saya menangis setiap kali mengingatnya. Sebelum saya pergi, Mora memberikan boneka ikan remora kesayangannya pada saya dan berkata “Hiu dan Remora akan selalu berpasangan. Walau gelombang besar memisahkan mereka, kelak takdir akan menyatukan mereka kembali”.
Selama di negeri orang, saya selalu berdo’a agar Mora diberi kekuatan dan ketabahan hati. Saya juga menjaga kesehatan saya agar Mora juga turut sehat. Namun terkadang saya mendadak sakit tanpa sebab, tanda bahwa Remora sedang sakit. Saat itulah kesempatan saya untuk bisa bicara dengan Mora.
“Pesawat akan segera mendarat, harap memakai sabuk pengaman dan penutup telinga. The plane will be landing soon, please fasten your seatbelt and use the ear cover”, ucap pramugari. Jantung saya berdebar-debar. Bukan karena pesawat yang akan mendarat, namun karena sebentar lagi akan bertemu dengan Remora. Akhirnya, setelah sekian lamanya terpisah, kami bisa bertemu lagi. Tiga jam telah terlewati, inilah saatnya.
Pesawat akhirnya mendarat, para penumpang segera turun setelah diberi tanda oleh pramugari. Senangnya bisa pulang ke Tanah Air, terlebih karena Mora. Saya berjalan menuju ruang tunggu kedatangan luar negeri.
“Hiu, Anakku”, terdengar suara ayah dari jauh. Disusul dengan Ibu, Remora, dan seorang lelaki. Setelah melepas rindu pada Ayah dan Ibu, kini saatnya melepas rindu pada Remora. Entah kenapa saya tak berani menciumnya, hanya memeluknya erat dan mengucapkan selamat atas pertunangannya. Mora tersenyum dan terlihat bahagia, tapi saya merasa bahwa hatinya menyimpan rasa sedih. “Relakanlah, maka kita takkan terpisah lagi. Karena kita tetap bersaudara”, bisikku pada Mora.
Setelah saling melepas rindu, kami sekeluarga pun pulang. Bersiap untuk pernikahan Mora yang akan diselenggarakan dalam beberapa hari ke depan.
“Semoga kalian berdua selalu bahagia dan tak terpisahkan, bagai ikan hiu dan remora”, bisikku dalam hati.
Sedih sekali jika teringat akan mata Remora yang biasanya berbinar dipenuhi air mata. Ingin rasanya saya menangis setiap kali mengingatnya. Sebelum saya pergi, Mora memberikan boneka ikan remora kesayangannya pada saya dan berkata “Hiu dan Remora akan selalu berpasangan. Walau gelombang besar memisahkan mereka, kelak takdir akan menyatukan mereka kembali”.
Selama di negeri orang, saya selalu berdo’a agar Mora diberi kekuatan dan ketabahan hati. Saya juga menjaga kesehatan saya agar Mora juga turut sehat. Namun terkadang saya mendadak sakit tanpa sebab, tanda bahwa Remora sedang sakit. Saat itulah kesempatan saya untuk bisa bicara dengan Mora.
“Pesawat akan segera mendarat, harap memakai sabuk pengaman dan penutup telinga. The plane will be landing soon, please fasten your seatbelt and use the ear cover”, ucap pramugari. Jantung saya berdebar-debar. Bukan karena pesawat yang akan mendarat, namun karena sebentar lagi akan bertemu dengan Remora. Akhirnya, setelah sekian lamanya terpisah, kami bisa bertemu lagi. Tiga jam telah terlewati, inilah saatnya.
Pesawat akhirnya mendarat, para penumpang segera turun setelah diberi tanda oleh pramugari. Senangnya bisa pulang ke Tanah Air, terlebih karena Mora. Saya berjalan menuju ruang tunggu kedatangan luar negeri.
“Hiu, Anakku”, terdengar suara ayah dari jauh. Disusul dengan Ibu, Remora, dan seorang lelaki. Setelah melepas rindu pada Ayah dan Ibu, kini saatnya melepas rindu pada Remora. Entah kenapa saya tak berani menciumnya, hanya memeluknya erat dan mengucapkan selamat atas pertunangannya. Mora tersenyum dan terlihat bahagia, tapi saya merasa bahwa hatinya menyimpan rasa sedih. “Relakanlah, maka kita takkan terpisah lagi. Karena kita tetap bersaudara”, bisikku pada Mora.
Setelah saling melepas rindu, kami sekeluarga pun pulang. Bersiap untuk pernikahan Mora yang akan diselenggarakan dalam beberapa hari ke depan.
“Semoga kalian berdua selalu bahagia dan tak terpisahkan, bagai ikan hiu dan remora”, bisikku dalam hati.
4 komentar:
Good Like it :D
ih bagus ceritanya :D
OK :D
thanks :D
Posting Komentar
Do not be a silent reader, but become good readers who want to give advice :D okayy guys? #ThanksBefore